Kekalahan tidak selalu berarti kehilangan segala-galanya. Kehilangan rasa peraya diri dan kehilangan akan masa depan. Kekalahan hanya menjadi bagian dari episode kehidupan yang harus dilewati. Untuk kemudian, memulai kembali sesuatu yang baru dan melanjutkannya menuju sebuah kemenangan.
Begitulah, kira-kira yang dialami oleh bangsa Jepang tatkala mengalami kekalahan total saat Perang Dunia (PD) II pada pertengahan abad ke-20. Seperempat abad kemudian, mereka mulai bangkit dari kekalahan. Dalam banyak hal, kini, Jepang telah mampu mengalahkan bangsa Amerika Serikat (AS) yang dulu mengalahkannya dalam perang. Jepang telah banyak mengalahkan Amerika Serikat, terutama dalam bidang industri elektronika dan otomotif.
Tak terkecuali, AS pun kalah dari Jepang dalam bidang pendidikan. Penyelenggaraan The Third International Mathematica and Science Study (TIMSS) pada tahun 1995, telah mengukuhkan kekalahan pendidikan AS dari Jepang. Bahkan, pendidikan AS tidak hanya kalah dari Jepang, tapi AS pun kalah dari 19 negara lainnya. Antara lain adalah negara Singapura, Perancis, Jerman, Kanada dan Australia.
TIMSS adalah sebuah studi internasional yang membandingkan hasil belajar Matematika dan IPA pada Kelas 8 (Kelas 2 SMP) pada sejumlah siswa yang berasal dari 41 negara di dunia. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa skor rata-rata Matematika siswa AS lebih rendah dari siswa Jepang dan 19 negara lainnya. Skor rata-rata siswa AS hanya menang secara signifikan atas 7 negara lain seperti Lithuania, Siprus, Iran, Kolombia dan Afrika Selatan.
Kekalahan membuat rasa penasaran pada diri pengambil kebijakan bidang pendidikan di Amerika Serikat (AS). Maka, sejak saat itu mereka melakukan analisa mengenai kekalahannya. Mereka mengumpulkan sejumlah data dari berbagai negara yang telah mengalahkannya, termasuk sejumlah video rekaman langsung mengenai proses pembelajaran di sekolah-sekolah di Jepang dan Jerman. Lalu, mereka bandingkan dengan proses pembelajaran di sekolah-sekolah paman Sam sendiri.
Apa kesimpulannya ? Menurut mereka, “AS selalu melakukan perbaikan dan reformasi di bidang pendidikan. Namun, upaya itu tidak selalu meningkatkan mutu pembelajaran”. Masih menurut mereka sendiri, “ada satu hal yang tidak dimiliki oleh AS, sementara mereka (Jepang dan negara lainnya) telah memilikinya. Mereka telah memiliki sebuah sistem yang menjamin peningkatan mutu pembelajaran yang berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan”.
Pengakuan kekalahan di bidang pendidikan mengharuskan AS untuk bersedia belajar secara langsung kepada Jepang. Di negara yang pernah dikalahkannya dalam Perang Dunia II itu, AS belajar tentang Jugyo Kenkyu yang telah dipraktekkan oleh para guru di sekolah-sekolah Jepang sejak puluhan tahun sebelumnya. Jugyo berarti Lesson dalam bahasa Inggris atau pembelajaran dalam bahasa Indonesia. Sementara Kenkyu berarti Study atau Reseacrh, yang berarti studi, pengkajian atau penelitian. Dengan demikian, maka Jugyo Kenkyu dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan studi, pengkajian atau penelitian mengenai pembelajaran. Secara singkat, biasanya Jugyo Kenkyu atau Lesson Study diartikan sebagai sebuah kegiatan pengkajian pembelajaran.
Melalui Jugyo Kenkyu, sejumlah guru di Jepang secara bersama-sama melakukan kegiatan perencanaan dan observasi pada proses pembelajaran di suatu sekolah. Seorang guru yang sedang mengajar di suatu kelas, di observasi oleh beberapa guru lainnya yang satu mata pelajaran atau sejenis. Mereka, bisa berasal dari sekolah yang sama atau dari sekolah yang berbeda. Tujuannya adalah mendapatkan berbagai masukan mengenai cara mengajar agar dapat memotivasi para siswa untuk dapat belajar aktif secara mandiri.
Hasil dari kegiatan observasi itu, kemudian dibahas dan dianalisa di antara mereka sendiri. Sejumlah masalah selama kegiatan pembelajaran berlangsung, dikaji dari berbagai segi, termasuk berdasarkan pengalaman di antara para guru masing-masing. Mereka saling memberikan pendapat dan penilaian, sekaligus memberikan masukan atau solusi, bagaimana agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih baik.
Hasil dari kegiatan observasi, pengkajian dan pembahasan mengenai pembelajaran ini kemudian dijadikan sebagai masukan atau umpan balik bagi kegiatan pembelajaran berikutnya. Begitu seterusnya, mereka lakukan itu secara berkelanjutan. Sebuah sistem peningkatan mutu pembelajaran memang telah berlangsung secara terus-menerus, berangkat dari pengalaman para guru secara langsung.
Meskipun, pada awalnya kegiatan Jogyu Kenkyu hanya dilaksanakan secara terbatas di sekolah-sekolah tertentu, namun kemudian menjadi berkembang di sekolah-sekolah lainnya di Jepang secara sukrela. Mengapa ? Karena, sekolah-sekolah lain telah merasakan manfaat dari kegiatan Jogyu Kenkyu bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Apalagi, sejak tahun 1970-an pemerintah Jepang kemudian memberikan dukungan penuh terhadap sekolah-sekolah agar menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Jogyu Kenkyu dianggap telah terbukti dapat meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah-sekolah di Jepang. Amerika Serikat (AS) pun tak malu-malu untuk belajar dan menirunya. Kini, hampir di sekolah-sekolah di AS telah menerapkan model kegiatan Jogyu Kenkyu, yang kemudian kini lebih dikenal sebagai Lesson Study.
Dan, sejak tahun 1998, Indonesia pun mulai ikut belajar mengenai Lesson Study kepada Jepang. Saat ini, program Lesson Study masih terus disosialisasikan dan dikembangkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Mengapa ? Karena, Lesson Study telah diyakini sangat potensial untuk meningkatkan mutu pembelajaran, meningkatkan mutu profesionalitas pendidik atau guru, dan selanjutnya berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. ***
(Oleh Sri Endang S.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar