Sabtu, 15 Oktober 2011

Ihsan, Tasawuf, dan Psikoterapi



DR. Nurcholis Madjid
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlaq mulia kita melihat hubungan ihsan dengan ajaran kesufian atau tasawuf. Menurut K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, dengan mengutip Kitab Futuhat al-Ilahiyyah, ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menjalankan thariqat:
Qashd shahih, artinya, dalam menjalani thariqat itu ia harus mempunyai tujuan yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah, yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq), dan berniat memenuhi haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan Allah Ta’ala, bukan untuk meraih keramat atau pangkat, juga bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin dipuji orang lain dan seterusnya;
Shidq sharif, artinya kejujuran yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan (sir al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi atau hadlrat al-Ilahiyyah;
Adab mardliyyah, artinya, tatakrama yang diridhai, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menjalankan tatakrama yang dibenarkan ajaran agama, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih rendah, menghormati orang lain sesamanya dan yang lebih tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya karena kepentingan diri sendiri;
Ahwal zakiyyah artinya, tingkah laku yang bersih, yaitu bahwa orang masuk thariqat tersebut tingkah lakunya dan ucapan-ucapannya harus sejalan dengan syari’at Nabi Muhammad Saw.;
Hifz al-hurmah, artinya, menjaga kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menghormati gurunya, hadir atau gaib, hidup atau pun mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang yang lebih tinggi dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
Husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk thariqat harus mempertinggi mutu pelayanannya kepada guru, pada sesama saudara pemeluk Islam, dan kepada Allah Swt. Dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya al-shiddiq-un dan itulah al-maqshud al-a’dzham (tujuan agung)mengikuti thariqat;
Raf’ al-himmah, artinya, mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat tidak karena tujuan-tujuan dunia dan akhirat tapi karena hendak mencapai ma’rifat khashshah (ma’rifat atau pengetahuan khusus atau istimewa) tentang Allah Swt.;
Nufudz al-’azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa orang yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi meraih ma’rifat khashshah tentang Allah Ta’ala, dan bila melakukan kebajikan maka ia melakukannya dengan lestari sehingga berhasil (Lihat, Muhammad Hasyim Asy’ari, al-Durrar al-Muntatshirah fi al-Masa’il al-Tis’ al’Asyarah, tanpa tempat penerbitan, 1359 H/1940 M, hal. 16-17).
KH. Hasyim Asy’ari juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan ialah mempertinggi tatakrama, adab atau akhlaq.Ia mengutip sebuah syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:
“Tujuan thariqat ialah pendidikan tatakrama, dalam segala tingkah laku, dan itulah madzhabnya.”
Dengan mengutip Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy’ari mengetengahkan empat tatakrama yang seseorang tidak dapat disebut pengikut thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun luasnya pengetahuan orang tersebut. Empat tatakrama atau akhlaq itu ialah:
Menjauhi semua orang yang bertindak dzalim, seperti penguasa atau orang kaya yang berlaku tidak adil pada orang lain;
Menghormati orang yang memusatkan perhatiannya pada akhirat;
Menolong kaum melarat;
Selalu melakukan shalat berjama’ah dengan orang banyak Kata K.H. Hasyim Asy’ari selanjutnya, “Telah berkata Imam Muhy al-Din Ibn al’Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa saja yang menjalankan keempat-empatnya, ia sungguh telah menggabungkan semua kebajikan, yaitu:
Ta’zhim hurumat al-muslimin, artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
Khidmat al-fuqara wa al-masakin, artinya, melayani kaum fakir-miskin;
Wal-inshaf min nafsihi, artinya, jujur dan adil mengenai diri sendiri;
Tark al-intishar la-ha, artinya, tidak memberi pertolongan hanya semata karena kepentingan diri sendiri.”
Selanjutnya, KH. Hasyim Asy’ari, dengan mengutip Suhrawardi, menjelaskan bahwa jalan kaum sufi ialah niat untuk membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu, serta untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk ‘ujub, takabbur, riya’ dan hubb al-dunya (kagum pada diri sendiri, sombong, suka pamrih, dan cinta kehidupan duniawi), dan lain sebagainya, serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, rendah hati (tawadldlu), tawakkal (bersandar dan percaya kepada Tuhan), selalu memberikan perkenan hati pada setiap kejadian dan terhadap orang lain (ridla), dan seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma’rifat dari Allah dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).
Kesufian merupakan cabang keagamaan dalam Islam yang sering tampak kontroversial. Beberapa tokohnya menjadi sasaran kritik, bahkan penyiksaan atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.
Sekalipun KH. Hasyim Asy’ari, seperti terbukti dari keterangan di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum sufi, namun beliau dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya yang ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Percetakan Nahdlatul Ulama, tt.).
Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf, kemudian yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada analisa terakhir adalah sebuah wawasan tentang kebulatan, kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh. Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling sulit dipahami. Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa hakikat yang ada di balik penampakkan lahiriahnya itu.
Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh ‘ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi Khidlir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati (khidlr artinya hijau).
Dalam kisah itu dituturkan bagaimana seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah pada mereka berdua. Dan barulah Musa as, paham akan tingkah laku aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari bahaya perampok yang memilih perahu-perahu –yang nampak baik dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya rendah itu.
Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan sering justru dianggap sebagai bagian dari kualitas tokoh tersebut sebagai “orang suci” atau kekasih Allah (wali). Namun justru disini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu, menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti dikatakan oleh penulis kitab Nata’ij al-Afkar sebagaimana dikutip ole KH. Hasyim Asyari: Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan, bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan tingkah laku mereka (golongan thariqat). (Muhammad Hasyim Asy’ari, Al-Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’ al-’Asyarah,” dalam op cit, hal. 8-9)
Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat azhab-Nya: “Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azabku adalah azab yang amat pedih.” (Q.S. al-Hijr 15:49-50).
Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi, sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu menangkapnya.
Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat paradoks-paradoks, dan mencoba memperoleh cita rasa (menurut istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.
Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah dan syarahnya, KH. Hasyim Asy’ari bahwa tauhid mengenal tiga jenjang: pertama penilaian bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu dan teori) bahwa Allah itu satu adanya; dan ketiga, timbulnya cita rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq).
Yang pertama, adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum sufi yang telah mencapai ma’rifat dan yang memiliki pengalaman tentang hakikat. (Hasyim Asy’ari, “Al-Durrar,” dalam op. cit., hal. 10-11).
Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara intens itu adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah (Sunnatullah) juga, seperti disebutkan dalam firman Allah: “Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan wujud berpasangan (yakni, terdiri dari dua bagian yang paradoksal), agar kamu renungkan.” (Q.S. al-Dzariyat 51:49).
“Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi, dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang tidak kamu ketahui (yakni, tidak dapat kamu pahami).” (Q.S. Yasin 36:36)
Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi Saw. “Berakhlaq lah kamu dengan akhlaq Allah.” Berkenaan dengan masalah hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan antara lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita rasa, akan kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari paradoks-paradoks, dengan mencoba menerima hikmah yang ada di belakang, seperti (seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap tingkah laku gurunya, al-Khidlr.
Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk “memberontak” akibat sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini dapat mempunyai dampak penyembuhan den penyehatan jiwa, seperti saat sekarang mulai banyak digunakan dalam teknik-teknik penyembuhan psikoterapis.
Dikatakan oleh Prof. Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua Departemen Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang melihat kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G. Jung: “The use paradox is not explicitly described as a technique in Jungian therapy, but the basis of it is there. Recently it has been given a name and clarified as technique. Paradoxes serve to bring out a person from complacency of accepting either I or concepts so that a different and higher state of consciousness is attained immediately. With the sufi, the use of paradox is not restricted to technique but is a genuine expression of his state of consciousness. By example and action rather than by preaching and teaching, a sufi conveys directly to the intuition of his follower the paradoxical nature of truth (Prof. Dr. Muhammad Shaalan, “Some Parallel between Sufi Practices and the path of individucation”, dalam J. Marvin Spiegelman, Ph.D., et al., ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology (Scottsdale, Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.
Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai suatu teknik “penyembuhan” dalam terapi care Jung, tetapi dasarnya ada di sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi sebuah nama dan dijelaskan sebagai teknik. Paradoks berguna untuk melepaskan seseorang dari rasa puas diri dalam menerima konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak, sehingga tingkat kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera dicapai.
Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi hanya sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan dan tindakan, dan bukannya melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara langsung menyajikan intuisi pengikutnya (sifat paradoksal dari kebenaran). Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah: “Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan.” (QS. al-Nahl 16:90)
Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam kerangka pandangan yang berkeseimbangan (‘adl sendiri artinya seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya. Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks.
Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan tidak akan membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar