Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Pertanyaan lebih mendasar dan sering diperdebatkan para teolog, yaitu bagaimana posisi Alquran?
Apakah Alquran sebagai wahyu tetap sebagai bagian dari atau dalam lingkup al-A’yan ats-Tsabitah atau bagian dari al-A’yan al-Kharijiyyah, atau dimensi al-Kalam al-Dzati masuk di dalam al-A’yan ats-Tsabitah dan dimensi al-Kalam al-Lafdzi-nya masuk ke dalam al-A’yan al-Kharijiyyah?
Kalangan Mu’tazilah beranggapan Alquran itu baharu dalam pengertian mungkin memasukkannya di dalam al-A’yan al-Kharijiyyah. Seperti kita ketahui, kaum Mu’tazilah sangat konsisten mempertahankan keabadian tunggal Allah.
Mereka tidak mau mengakui adanya keabadian ganda (al-ta’addud al-qudama) karena hal itu bertentangan dengan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Allahu Ahad), bukannya Allahu Wahid yang masih membuka adanya peluang kedua (itsnan), ketiga (tsalatsah), dan seterusnya.
Berbeda dengan ulama Sunni lainnya, khususnya ulama tasawuf, yang masih menganggap adanya al-A’yan ats-Tsabitah yang di dalamnya ada Ism dan Shifat, termasuk Alquran sebagai Kalam Allah, yang bisa dipahami adanya keabadian ganda menurut kaum Mu’tazilah. Pembahasan posisi wahyu Alquran nanti dibahas ketika kita membicarakan Maqam Nubuwwah dan Risalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batas antara Khalik dan makhluk atau Al-Haq dan al-khalq ialah di luar garis batas al-A’yan ats-Tsabitah. Sekalipun al-A’yan al-Kharijiyyah masih sangat tipis jaraknya dengan Al-A’yan ats-Tsabitah, tetapi ia sudah masuk di level alam atau makhluk.
Apakah Alquran sebagai wahyu tetap sebagai bagian dari atau dalam lingkup al-A’yan ats-Tsabitah atau bagian dari al-A’yan al-Kharijiyyah, atau dimensi al-Kalam al-Dzati masuk di dalam al-A’yan ats-Tsabitah dan dimensi al-Kalam al-Lafdzi-nya masuk ke dalam al-A’yan al-Kharijiyyah?
Kalangan Mu’tazilah beranggapan Alquran itu baharu dalam pengertian mungkin memasukkannya di dalam al-A’yan al-Kharijiyyah. Seperti kita ketahui, kaum Mu’tazilah sangat konsisten mempertahankan keabadian tunggal Allah.
Mereka tidak mau mengakui adanya keabadian ganda (al-ta’addud al-qudama) karena hal itu bertentangan dengan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Allahu Ahad), bukannya Allahu Wahid yang masih membuka adanya peluang kedua (itsnan), ketiga (tsalatsah), dan seterusnya.
Berbeda dengan ulama Sunni lainnya, khususnya ulama tasawuf, yang masih menganggap adanya al-A’yan ats-Tsabitah yang di dalamnya ada Ism dan Shifat, termasuk Alquran sebagai Kalam Allah, yang bisa dipahami adanya keabadian ganda menurut kaum Mu’tazilah. Pembahasan posisi wahyu Alquran nanti dibahas ketika kita membicarakan Maqam Nubuwwah dan Risalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batas antara Khalik dan makhluk atau Al-Haq dan al-khalq ialah di luar garis batas al-A’yan ats-Tsabitah. Sekalipun al-A’yan al-Kharijiyyah masih sangat tipis jaraknya dengan Al-A’yan ats-Tsabitah, tetapi ia sudah masuk di level alam atau makhluk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar